03 Januari 2008

Kontradiktif Penerapan Pasal 44B UU KUP

"Filosofi pajak bukanlah untuk membangkrutkan orang," ujar Dirjen Pajak Darmin Nasution baru-baru ini terkait persoalan proses penyidikan tindak pidana pajak yang sedang dilakukan terhadap PT Asian Agri. Pernyataan tersebut benar karena memang itulah yang diinginkan negara.

Ibarat seekor ayam, negara tidak ingin memotong ayamnya tetapi hanya ingin mengambil sebagian dari sejumlah telor yang telah dihasilkannya. Menyelisik filosofi demikian adalah wajar jika Dirjen membuka peluang penyelesaian dugaan kasus pengelapan di luar jalur pengadilan. Apa yang diharapkan dari penyelesaian itu tidak lain adalah kepentingan penerimaan negara yang dimungkinkan oleh UU.
Boleh jadi Dirjen Pajak benar mengingat jumlah kerugian negara cukup besar sekitar Rp1,3 triliun. Bahkan, bila ditambah sanksi empat kali lipat menjadi Rp5,2 triliun. Seandainya jumlah ini masuk kas negara, tentu sangat membantu penerimaan.
Namun, di sisi lain bisa jadi akan menimbulkan pertanyaan. Di mana kepastian hukumnya kalau semua tindak pidana pajak bisa digantikan dengan sejumlah uang tanpa proses pengadilan? Bagi mereka yang barangkali sudah dipidana juga akan bertanya kenapa untuk kasus yang sama tidak diperlakukan proses hukum yang sama?
Bagaimana mencari jalan tengah persoalan tersebut, inilah yang perlu mendapatkan perhatian bersama.

Kontradiktif Pasal 44B

Kontradiktif persoalan penyelesaian kasus PT Asian Agri didasarkan pada adanya Pasal 44B UU KUP (Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan). Pasal tersebut memberikan kewenangan kepada Jaksa Agung untuk menghentikan penyidikan pajak bila ada permintaan dari Menteri Keuangan yang didasarkan pada kepentingan penerimaan negara (ayat 1).
Penghentian penyidikan tersebut dilakukan sepanjang Wajib Pajak mau melunasi utang pajak ditambah sanksi denda empat kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar (ayat 2). Ketentuan tersebut menjadi persoalan karena sudut pandang berbeda.
Satu sisi memandang pada filosofi pajak yang lebih menekankan pada penerimaan negara. Tetapi di sisi lain, melihat kepastian hukum pajak bahwa atas kasus Asian Agri harus dituntaskan melalui proses pengadilan. Bila kita kembali pada filosofi pajak yang disampaikan Dirjen Pajak, maka dicantumkannya Pasal 44B dalam UU KUP adalah benar.
Artinya, bila Menkeu sebagai pihak yang bertanggung jawab atas penerimaan negara menerapkannya berarti tidak melanggar UU. Menkeu hanya melaksanakan ketentuan yang dimungkinkan oleh UU. Kalau Menkeu menyurati Jaksa Agung meminta dihentikannya proses penyidikan pidana pajak demi kepentingan penerimaan negara adalah benar adanya karena UU membolehkan.
Cukup banyaknya kasus pidana pajak sebenarnya bisa dimanfaatkan oleh Menkeu sesuai amanat Pasal 44B UUKUP untuk merealisasikan penerimaan negara.
Masalahnya, kalau Menkeu ingin menggunakan kewenangan Pasal 44B, seakan-akan Menkeu telah mengintervensi proses hukum yang menjadi kewenangan Jaksa Agung. Kalau ini yang dilakukan, maka tidak ada lagi kepastian hukum yang selalu didambakan masyarakat.Apalagi bila penerimaan negara tidak tercapai, sangat mungkin Menkeu menggunakan kewenangannya. Apakah ini salah ? Tentu saja tidak, karena UU mengizinkannya. Tetapi hal itu tidak pernah dilakukan pemerintah.Pertanyaannya, kalau pasal tersebut tidak pernah digunakan, lalu untuk apa dicantumkan dalam UU? Tetapi, di sisi lain kalangan pengamat hukum akan mempertanyakan kepastian hukum proses pidana (penyidikan) pajak yang sedang berlangsung bisa dihentikan dan digantikan dengan sejumlah uang pengganti sebagai penerimaan negara. Bila itu terjadi, kepastian hukum menjadi lemah-bahkan tidak ada lagi artinya-karena uang bisa menggantikannya.Selanjutnya publik akan bertanya mengapa itu bisa terjadi ? Tidak tertutup kemungkinan institusi pajak akan menjadi sasaran kecurigaan banyak pihak dan menyatakan UU-nya tidak benar. Para pengamat hukum tentu tidak sudi bila proses hukum terhenti karena WP mau melunasi utang pajak ditambah sanksi empat kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar.Acuan ketika tindak pidana perpajakan yang terjadi bisa diselesaikan dengan melunasi utang pajak ditambah sanksi administrasi sudah pasti akan menjadi menarik bagi wajib pajak yang punya itikad tidak baik. Besar kemungkinan wajib pajak mencoba melakukan tindak pidana pajak, toh nantinya bila dilakukan penyidikan, bisa diselesaikan dengan melunasi utang pajaknya.Fokus kedua persoalan di atas dilihat dari kacamata (hukum) pajak, menarik untuk dikaji terkait dengan persoalan penegakan hukum pajak (law enforcement) serta aspek keadilan pemungutan pajak. Disadari, penerapan Pasal 44B seakan ingin menekankan penyelesaian penerimaan pajak lebih penting daripada proses hukum via pengadilan.Penerimaan pajak dipandang lebih condong daripada proses penyelesaian via pengadilan. Penyelesaian via pengadilan memakan waktu bertahun-tahun sampai pada hukum yang inkracht (pasti), sedangkan penerimaan pajak harus sesegera mungkin. Inilah kontradiktifnya penerapan pasal 44B.Proses penghentian penyidikan sebenarnya telah diatur dalam Pasal 44A UUKUP yakni terbatas untuk empat hal, pertama, tidak terdapat cukup bukti; kedua, peristiwanya bukan merupakan tindak pidana perpajakan; ketiga, peristiwa telah kedaluwarsa; dan keempat, tersangka meninggal dunia.Penghentian penyidikan harus berpedoman pada ketentuan tersebut. Dengan Pasal 44B berarti menambah satu lagi syarat dapat dihentikannya proses penyidikan yaitu adanya permintaan Menkeu ke Jaksa Agung demi penerimaan negara.Pertanyaannya, apa kira-kira yang menjadi pertimbangan Menkeu meminta Jaksa Agung menghentikan penyidikan untuk kepentingan penerimaan negara ? Ukuran atau parameter urgensinya kepentingan penerimaan tentu sangat sulit bila dikaitkan dengan proses hukum yang sedang berjalan.UU sendiri tampaknya kesulitan memberikan penjelasan ukuran kepentingan penerimaan negara. Seharusnya UU KUP memberikan penjelasan apa alasan atau ukuran kepentingan penerimaan negara agar Menkeu tidak kesulitan ketika hendak menyurati Jaksa Agung. Perlu politik hukum yang jelas agar tidak menimbulkan pro kontra ketika hendak menerapkan pasal tersebut.Pilihan hukumPenanganan aspek penegakan hukum pajak (law enforcement) sangat diharapkan guna tegaknya UU pajak itu sendiri. Menyidik pengelak pajak menjadi satu tuntutan khusus agar persoalan kebenaran pembayaran pajak menjadi jelas sesuai UU. Bila tidak, dikhawatirkan persoalan penerimaan pajak akan semakin terganggu dengan permainan yang dilakukan oleh oknum dengan alasan yang dilakukannya bukanlah mengelak pembayaran pajak tetapi melakukan manajemen pajak atas dasar yang sah berdasarkan ketentuan yang berlaku.Pilihan memidanakan WP atau memprioritaskan penerimaan tentu menjadi politik kepentingan pemerintah. Adalah hak pemerintah menggunakan salah satu pilihan. Adalah hak pemerintah juga untuk menggunakan kedua pilihan tersebut karena memang dibolehkan UU. Memang, pilihan hukum penerapan pidana pajak selalu menjadi pertanyaan.Kecenderungan pilihan hukum sanksi administrasi Pasal 13 sepertinya menjadi hal lazim. Pemikiran demikian seakan menjadi inspirasi pembuat UU mencantumkan Pasal 44B guna menyukseskan penerimaan negara. Apakah pilihan hukum demikian sudah adil?Harus dipahami pula bahwa memang pengertian keadilan di sini tidak selamanya memberikan arti harus memidana atau memenjarakan WP. Melunasi utang pajak plus sanksi tentu sudah menjadi satu hukuman cukup berat dan cukup adil bagi kepentingan negara. Pemahaman rasa keadilan dapat dimengerti dalam konteks memahami kepentingan negara terkait dengan pembayaran pajak yang menjadi kewajiban setiap orang untuk membayar pajak.Menyadari pentingnya pajak bagi kemaslahatan hidup manusia, pilihan hukum dengan membuka peluang penyelesaian kasus di luar pengadilan menjadi menarik untuk dikaji.Seandainya pilihan itu yang dilakukan dan WP mau melunasi utang pajak ditambah sanksinya, kepentingan penerimaan negara yang menjadi prioritas pemerintah sesuai filosofi pajak.Namun, bila pilihannya menuntaskan via jalur pengadilan, adalah juga baik sebagai pembelajaran bersama sekalipun kepastian hukumnya akan memakan waktu yang cukup panjang. Kiranya kontradiktif penerapan Pasal 44B UU KUP bisa menjadi kajian dan pertimbangan bagi kita bersama.Oleh Richard BurtonKasi Pengawasan dan Konsultasi KPP Pratama Serpong

Denda Keterlambatan Lapor menurut UU KUP Baru

Undang-undang KUP baru yaitu Undang-undang No. 28/2007 yang disahkan 17 Juli 2007 dan mulai berlaku 1 Januari 2008 merupakan perubahan ketiga atas UU No. 6/1983.

Perubahan tersebut disambut positif oleh kalangan swasta karena lebih transparan dan terdapat keseimbangan antara hak-hak wajib pajak dan kewajibannya sehingga hal ini diharapkan mendorong terciptanya iklim usaha yang kondusif.Salah satu perubahan sangat besar pada pasal1 angka 11 Surat pemberitahuan (SPT) adalah surat yang oleh WP digunakan untuk melaporkan penghitungan dan atau pembayaran pajak, dan atau objek pajak dan/atau bukan ojek pajak, dan/atau harta, serta kewajiban sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) dari UU No.28/2007 tersebut apabila SPT tidak disampaikan dalam jangkawaktu sebagaimana diatur dalam pasal 3 akan dikenai sanksi yaitu :


sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan terhadap:

  1. Wajib Pajak orang pribadi yang telah meninggal dunia;
  2. Wajib Pajak orang pribadi yang sudah tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas;
  3. Wajib Pajak orang pribadi yang berstatus sebagai warga negara asing yang tidak tinggal lagi di Indonesia;
  4. Bentuk Usaha Tetap yang tidak melakukan kegiatan lagi di Indonesia;
  5. WP Badan yang tidak melakukan kegiatan usaha lagi, tetapi belum dibebaskan sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
  6. Wajib Pajak yang terkena bencana yang semuanya diatur dengan Peraturan Mentreri Keuangan.

Mengenai Saya

Bisnis kami membantuanda menyediakan KARYAWAN/BURUH PERUSAHAAN, SATPAM TERLATIH, dan memberi presentasi serta solusi terhadap masalah PERBURUHAN dan PENGELOLAAN ADMINISTRASI PERPAJAKAN di perusahaan anda.