04 Februari 2008

Pemeriksaan Pajak Menurut UU KUP Baru

Undang-undang KUP baru yaitu Undang-undang No. 28/2007 yang disahkan 17 Juli 2007 dan mulai berlaku 1 Januari 2008 merupakan perubahan ketiga atas UU No. 6/1983.

Perubahan tersebut disambut positif oleh kalangan swasta karena lebih transparan dan terdapat keseimbangan antara hak-hak wajib pajak dan kewajibannya sehingga hal ini diharapkan mendorong terciptanya iklim usaha yang kondusif.

Salah satu perubahan sangat besar adalah proses pemeriksaan pajak yang ketentuan-ketentuan pokoknya diatur di batang tubuh dari undang-undang dimaksud.Sebelum perubahan undang-undang dimaksud, tata cara pemeriksaan diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 545/KMK.04/ yang kemudian diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 123/PMK.03/2006.

Jenis pemeriksaan berdasarkan ketentuan yang sekarang berlaku dibedakan menjadi dua, yaitu pemeriksaan lapangan dan pemeriksaan sederhana atau pemeriksaan dengan korespondensi.Pemeriksaan lapangan dilakukan di tempat wajib pajak, dapat mencakup suatu jenis pajak tertentu atau semua jenis pajak, sedangkan pemeriksaan kantor dilakukan di kantor Direktorat Jenderal Pajak, dan hanya meliputi suatu jenis pajak tertentu.Di dalam Peraturan MK No. 123 disebutkan hak-hak wajib pajak dalam kaitannya dengan pemeriksaan pajak, yaitu:

  1. Dalam hal pemeriksaan lapangan wajib pajak berhak meminta kepada pemeriksa pajak untuk memperlihatkan surat perintah pemeriksaan, dan minta penjelasan tentang maksud dan tujuan pemeriksaan;
  2. Wajib pajak berhak minta kepada pemeriksa pajak rincian berkenaan dengan hal-hal yang berbeda antara hasil pemeriksaan dengan SPT;
  3. Wajib pajak berhak mengajukan permohoan pembahasan oleh tim pembahas dalam hal terdapat perbedaan antara pendapat wajib pajak dengan hasil pembahasan atas tanggapan wajib pajak oleh tim pemeriksa pajak.


Adapun kewajiban wajib pajak adalah:

a. Wajib memenuhi permintaan peminjaman dokumen dalam rangka pemeriksaan harus dalam jangka waktu paling lama tujuh hari sejak tanggal surat permintaan.
b. Wajib menandatangai surat pernyataan persetujuan apabila seluruh hasil pemeriksaan disetujui.
c. Wajib menandatangani Berita Acara Hasil Pemeriksaan apabila hasil pemeriksaan tersebut tidak atau tidak seluruhnya disetujui.
d. Wajib memenuhi ketentuan Pasal 29 UU KUP.
Pemeriksaan pajakBerbeda dengan pemeriksaan pajak berdasarkan undang-undang yang berlaku sampai 2007, yaitu UU No. 16/2000, pemeriksaan di dalam UU No. 28/2007 diatur di Pasal 31.Pasal 31 UU No. 16/2000 mengatur tata cara pemeriksaan pajak dengan peraturan Menteri Keuangan. Pasal tersebut diubah dalam undang-undang baru dengan menyebutkan hal-hal yang harus diatur di dalam peraturan pelaksanaan yang dimaksud antara lain:

a. jangka waktu pemeriksaan;
b. kewajiban menyampaikan surat pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada wajib pajak;
c. hak wajib pajak untuk hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan;
Hal-hal tersebut juga diatur di dalam peraturan pelaksanaan yang sekarang.Namun, di dalam undang-undang baru ditegaskan bahwa dalam hal hak wajib pajak tersebut tidak penuhi oleh pemeriksa pajak, wajib pajak dapat mengajukan permohonan untuk membatalkan hasil pemeriksaan pajak ataupun surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa:

a. penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan; atau
b. pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan wajib pajak.
Ketentuan tersebut diatur di Pasal 36 ayat (1) huruf d dan berdasarkan ketentuan Pasal 36 ayat (1c) Direktur Jenderal Pajak harus memberi keputusan dalam jangka waktu paling lama enam bulan sejak tanggal permohonan diterima.Dalam proses pemeriksaan, biasanya pemeriksa pajak memerlukan dokumen-dokumen dan wajib pajak harus memenuhinya. Berdasarkan ketentuan sekarang permintaan tersebut harus dipenuhi dalam waktu tujuh hari setelah permintaan diajukan.Di dalam undang-undang baru permintaan dokumen harus dipenuhi paling lama satu bulan sejak permintaan disampaikan, sebagaimana diatur di Pasal 29 ayat (3a). Jangka waktu ini memang lebih longgar dibandingkan dengan ketentuan yang berlaku sekarang.Namun, apabila wajib pajak tidak dapat memenuhi permintaan tersebut sehingga dokumen yang diminta tidak dapat disampaikan, maka itu akan membawa akibat.Dampaknya, seandainya, di proses keberatan dokumen dimaksud disampaikan, maka tidak akan dijadikan sebagai bahan pertimbangan oleh Ditjen Pajak untuk memutus kasusnya, sebagaimana diatur di Pasal 26A ayat (4).Berbeda dengan ketentuan yang sekarang berlaku menyangkut kewajiban membayar pajak yang terutang pada saat mengajukan keberatan, di dalam Undang-Undang KUP baru diatur bahwa pada saat wajib pajak mengajukan keberatan, maka pajak yang harus dibayar adalah hanya sebatas koreksi pemeriksa yang disetujui oleh wajib pajak.Apabila keberatannya ditolak maka wajib pajak dikenai denda 50% dari jumlah yang terutang. Jika wajib pajak melanjutkan prosesnya dengan mengajukan banding maka jumlah yang seharusnya dibayar berdasarkan keputusan keberatan, tidak ditagih sampai dengan kasusnya diputus.Di dalam Undang-undang KUP yang baru tidak secara tegas menyebutkan dua macam pemeriksaan seperti yang berlaku sekarang.Namun, secara implisit dua jenis pemeriksaan tetap ada yaitu pemeriksaan kantor dan pemeriksaan lapangan. Indikasi tersebut tercermin dalam ketentuan Pasal 29A yang mengatur bahwa terhadap perusahaan publik (terdaftar di pasar modal) akan dilakukan pemeriksaan kantor bila memenuhi syarat-syarat berikut:

a. Laporannya diaudit oleh akuntan publik dengan pendapat wajar tanpa pengecualian;
b. Surat Pemberitahuan Tahunan menyatakan lebih bayar; atau terpilih untuk diperiksa berdasarkan analisis risiko.Pemeriksaan kantor yang dilakukan terhadap perusahaan yang sahamnya diperdagangkan di bursa efek merupakan dorongan bagi perusahaan-perusahaan yang sahamnya belum terdaftar di bursa efek.Dengan pemeriksaan kantor proses pemeriksaan menjadi lebih sederhana sehingga perusahaan semakin cepat mendapatkan kepastian hukum jika dibandingkan dengan pemeriksaan lapangan.Secara umum Undang-Undang KUP lebih menjamin keseimbangan antara hak dan kewajiban wajib pajak. Di satu sisi, wajib pajak diberikan waktu yang agak longgar dalam memenuhi permintaan dokumen. Akan tetapi di sisi lain bila dokumen yang diminta tidak diserahkan pada saat pemeriksaan maka dokumen tersebut tidak akan dipakai sebagai bahan pertimbangan dalam proses keberatan.Dokumen yang harus diserahkan tersebut merupakan dokumen yang merupakan dokumen yang dimiliki oleh wajib pajak. Artinya, dokumen yang berada di pihak ketiga tidak masuk dalam kategori ini, misalnya surat keterangan domisili.Perubahan yang sangat penting adalah wajib pajak harus hadir di dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, dan wajib diberitahu oleh pemeriksa pajak mengenai hasil pemeriksaan pajak.Apabila hal ini tidak dipenuhi, maka ketetapan pajak sebagai hasil pemeriksaan dianggap batal. Oleh Rachmanto SurahmatTax Partner,Purwantono,Sarwoko & Sandjaja Consult

Sudahkah Anda Terdaftar Sebagai Wajib Pajak?

UU No. 28/2007 tentang perubahan ketiga atas UU No.6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) memberikan penegasan penting dalam pelaksanaan perpajakan naisonal, terutama beberapa hal yang selama ini dianggap samar atau grey area.

Di antaranya, mengenai kapan seharusnya mulai mendaftar sebagai wajib pajak (WP), khususnya bagi WP orang pribadi.

Saat mulai mendaftar ini sangat penting ditetapkan. Maksudnya, untuk menghilangkan kesan-seperti yang terjadi selama ini-di mana masyarakat menganggap seolah-olah kapan pun setiap saat bisa mendaftar sebagai WP, tanpa ada suatu batasan waktu. Apakah dengan sengaja atau tidak disengaja. Bila tidak dengan tegas ditetapkan, justru akan menjadi bias dan banyak persepsi. Selain itu, aspek keadilan menjadi kurang terwujud.

Bahkan, dengan bebas kapan pun mendaftar, dapat membuat kesadaran masyarakat untuk mendaftarkan diri sebagai WP tidak terdorong. Malahan ogah-ogahan.

Padahal, dalam sistem self assessment yang tetap diterapkan dalam perpajakan nasional, dibutuhkan kesadaran sendiri masyarakat untuk melaksanakan kewajiban perpajakan. Mulai dari mendaftarkan diri sebagai WP.

Sementara itu, official assessment, yakni penetapan secara jabatan oleh Ditjen Pajak lebih merupakan penyeimbang. Yakni, bila masyarakat tidak juga melaksanakan kewajibannya dengan kesadaran sendiri sebagaimana mestinya.

Pasal 2 Ayat (1) UU No.28/2007 menetapkan setiap wajib pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak, yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan wajib pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.

Syarat subjektif dan objektif inilah merupakan penegasannya. Dengan penetapan ini, tidak ada lagi persepsi lain tentang, kapan masyarakat harus bahkan wajib mendaftarkan diri sebagai WP.


Syarat subjektif

UU KUP merupakan hukum formal perpajakan di negara kita. Yakni, mengatur tentang apa, bagaimana, mengapa, kapan dan dimana masyarakat melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. Demikian juga dengan sanksi perpajakan, bila kewajiban tersebut tidak dilaksanakan.

Dalam UU KUP sebelumnya, persyaratan subjektif dan objektif memang tidaklah tersurat. Namun, dari pengertian wajib pajak sebenarnya tersirat, kapan harus mendaftarkan diri. Yakni, adanya suku kalimat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan.

Kini, dengan UU No.28/2007 yang akan berlaku mulai1 Januari 2008, sudah dengan tegas tersurat saat kapan mulai mendaftarkan diri. Persyaratan subjektif adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek pajak dalam UU Pajak Penghasilan (PPh). Yakni, saat subjek pajak menerima atau memperoleh penghasilan. Di mana, pada saat itu dikenakan pajak.

Persyaratan objektif adalah persyaratan bagi subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan atau diwajibkan untuk melakukan pemotongan/pemungutan sesuai UU PPh.

Dengan demikian, jelas sudah kapan masyarakat harus mendaftarkan sebagai WP. Yakni, saat memperoleh atau menerima penghasilan. Sebagai orang pribadi, ada batasannya, yakni saat penghasilan yang diterima atau diperoleh berada di atas penghasilan tidak kena pajak (PTKP). Besarannya, bagi WP bujangan Rp13,2 juta setahun.

Bila memiliki istri atau anak atau tanggungan maksimum tiga orang, tambahan PTKP Rp1,2 juta. Akan tetapi ini tidak mutlak. Artinya, walaupun penghasilan di bawah PTKP, masyarakat bisa juga mendaftar sebagai WP. Mungkin ada keperluan lain, seperti untuk mendapatkan kredit dan sebagainya.

Bila tetap tidak mendaftarkan diri sebagai WP, padahal telah memenuhi syarat subjektif dan objektif, dalam rangka melaksanakan UU maka Ditjen Pajak akan melakukan penetapan secara jabatan (official asessment system).

Namun, kewajiban pajaknya bukanlah saat terdaftar diri sebagai WP. Melainkan, dimulai sejak saat WP memenuhi persyaratan subjektif dan objektif. Waktunya paling lama lima tahun sebelum diterbitkan nomor pokok wajib pajak (NPWP). Misalnya, WP diterbitkan NPWP secara jabatan pada 2008. Padahal, kenyataannya WP telah memenuhi memperoleh penghasilan Rp2 juta sebulan (persyaratan subjektif dan objektif) sejak 2004. Dengan begitu, kewajiban perpajakannya timbul terhitung sejak 2004.


Aspek keadilan

Perlakuan ini tentu untuk menunjang aspek keadilan dalam perpajakan yang didambakan masyarakat. Yakni, setiap orang dengan kondisi yang sama, akan bersama-sama pula melaksanakan kewajiban perpajakan. Termasuk membayar pajak dan menyampaikan laporan Surat Pemberitahuan (SPT) pada waktu yang sama. Kewajiban ini bukan hanya kepada orang-orang tertentu, melainkan tanpa terkecuali.

Selama ini, cukup sering terdengar keluhan masyarakat. Mengapa hanya saya yang harus memiliki NPWP dan membayar pajak. Padahal, tetangga yang jauh penghasilan dan tingkat kehidupannya lebih tinggi, belum terdaftar sebagai WP. Apalagi membayar pajak. Di mana keadilannya, dan ini diskriminatif.

Keluhan ini bisa dimaklumi. Dengan sistem self assessment yang diterapkan dalam kondisi tingkat kesadaran masyarakat akan pajak makin rendah, keluhan di atas akan masih terus terdengar, bila tidak ada suatu perubahan.

Kini upaya merubah sudah ada. Melalui Pasal 2 Ayat (1), (4) dan (4a) UU KUP 2007, diharapkan menjadi daya dorong bagi masyarakat untuk mau mendaftarkan diri sebagai WP secara sukarela. Apalagi sekarang ini juga sedang berjalan program nasional ekstensifikasi massal, dalam rangka membantu masyarakat yang tidak sempat datang ke kantor pajak. Atau dapat juga melalui Internet (e-Registration).

Bila tidak juga mendaftar, maka harus siap juga dengan sanksi perpajakan. Bukan hanya akan dihitung hingga mundur lima tahun ke belakang. Bahkan, Pasal 39 UU KUP pun siap menghadang. Yakni, bila dengan sengaja sehingga menimbulkan kerugian pendapatan negara, dapat dikategorikan sebagai tindak pidana perpajakan. Berarti, sanksinya juga berupa sanksi pidana.

Kini masyarakat menginginkan keadilan. Sebagai anggota masyarakat, sudahkah Anda terdaftar sebagai WP? Kalau belum, apa kata dunia? Pekerja di pabrik linting rokok dan bengkel mobil saja sudah.

Oleh Liberty PandianganKepala Kantor Pelayanan Pajak Madya Palembang

03 Januari 2008

Kontradiktif Penerapan Pasal 44B UU KUP

"Filosofi pajak bukanlah untuk membangkrutkan orang," ujar Dirjen Pajak Darmin Nasution baru-baru ini terkait persoalan proses penyidikan tindak pidana pajak yang sedang dilakukan terhadap PT Asian Agri. Pernyataan tersebut benar karena memang itulah yang diinginkan negara.

Ibarat seekor ayam, negara tidak ingin memotong ayamnya tetapi hanya ingin mengambil sebagian dari sejumlah telor yang telah dihasilkannya. Menyelisik filosofi demikian adalah wajar jika Dirjen membuka peluang penyelesaian dugaan kasus pengelapan di luar jalur pengadilan. Apa yang diharapkan dari penyelesaian itu tidak lain adalah kepentingan penerimaan negara yang dimungkinkan oleh UU.
Boleh jadi Dirjen Pajak benar mengingat jumlah kerugian negara cukup besar sekitar Rp1,3 triliun. Bahkan, bila ditambah sanksi empat kali lipat menjadi Rp5,2 triliun. Seandainya jumlah ini masuk kas negara, tentu sangat membantu penerimaan.
Namun, di sisi lain bisa jadi akan menimbulkan pertanyaan. Di mana kepastian hukumnya kalau semua tindak pidana pajak bisa digantikan dengan sejumlah uang tanpa proses pengadilan? Bagi mereka yang barangkali sudah dipidana juga akan bertanya kenapa untuk kasus yang sama tidak diperlakukan proses hukum yang sama?
Bagaimana mencari jalan tengah persoalan tersebut, inilah yang perlu mendapatkan perhatian bersama.

Kontradiktif Pasal 44B

Kontradiktif persoalan penyelesaian kasus PT Asian Agri didasarkan pada adanya Pasal 44B UU KUP (Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan). Pasal tersebut memberikan kewenangan kepada Jaksa Agung untuk menghentikan penyidikan pajak bila ada permintaan dari Menteri Keuangan yang didasarkan pada kepentingan penerimaan negara (ayat 1).
Penghentian penyidikan tersebut dilakukan sepanjang Wajib Pajak mau melunasi utang pajak ditambah sanksi denda empat kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar (ayat 2). Ketentuan tersebut menjadi persoalan karena sudut pandang berbeda.
Satu sisi memandang pada filosofi pajak yang lebih menekankan pada penerimaan negara. Tetapi di sisi lain, melihat kepastian hukum pajak bahwa atas kasus Asian Agri harus dituntaskan melalui proses pengadilan. Bila kita kembali pada filosofi pajak yang disampaikan Dirjen Pajak, maka dicantumkannya Pasal 44B dalam UU KUP adalah benar.
Artinya, bila Menkeu sebagai pihak yang bertanggung jawab atas penerimaan negara menerapkannya berarti tidak melanggar UU. Menkeu hanya melaksanakan ketentuan yang dimungkinkan oleh UU. Kalau Menkeu menyurati Jaksa Agung meminta dihentikannya proses penyidikan pidana pajak demi kepentingan penerimaan negara adalah benar adanya karena UU membolehkan.
Cukup banyaknya kasus pidana pajak sebenarnya bisa dimanfaatkan oleh Menkeu sesuai amanat Pasal 44B UUKUP untuk merealisasikan penerimaan negara.
Masalahnya, kalau Menkeu ingin menggunakan kewenangan Pasal 44B, seakan-akan Menkeu telah mengintervensi proses hukum yang menjadi kewenangan Jaksa Agung. Kalau ini yang dilakukan, maka tidak ada lagi kepastian hukum yang selalu didambakan masyarakat.Apalagi bila penerimaan negara tidak tercapai, sangat mungkin Menkeu menggunakan kewenangannya. Apakah ini salah ? Tentu saja tidak, karena UU mengizinkannya. Tetapi hal itu tidak pernah dilakukan pemerintah.Pertanyaannya, kalau pasal tersebut tidak pernah digunakan, lalu untuk apa dicantumkan dalam UU? Tetapi, di sisi lain kalangan pengamat hukum akan mempertanyakan kepastian hukum proses pidana (penyidikan) pajak yang sedang berlangsung bisa dihentikan dan digantikan dengan sejumlah uang pengganti sebagai penerimaan negara. Bila itu terjadi, kepastian hukum menjadi lemah-bahkan tidak ada lagi artinya-karena uang bisa menggantikannya.Selanjutnya publik akan bertanya mengapa itu bisa terjadi ? Tidak tertutup kemungkinan institusi pajak akan menjadi sasaran kecurigaan banyak pihak dan menyatakan UU-nya tidak benar. Para pengamat hukum tentu tidak sudi bila proses hukum terhenti karena WP mau melunasi utang pajak ditambah sanksi empat kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar.Acuan ketika tindak pidana perpajakan yang terjadi bisa diselesaikan dengan melunasi utang pajak ditambah sanksi administrasi sudah pasti akan menjadi menarik bagi wajib pajak yang punya itikad tidak baik. Besar kemungkinan wajib pajak mencoba melakukan tindak pidana pajak, toh nantinya bila dilakukan penyidikan, bisa diselesaikan dengan melunasi utang pajaknya.Fokus kedua persoalan di atas dilihat dari kacamata (hukum) pajak, menarik untuk dikaji terkait dengan persoalan penegakan hukum pajak (law enforcement) serta aspek keadilan pemungutan pajak. Disadari, penerapan Pasal 44B seakan ingin menekankan penyelesaian penerimaan pajak lebih penting daripada proses hukum via pengadilan.Penerimaan pajak dipandang lebih condong daripada proses penyelesaian via pengadilan. Penyelesaian via pengadilan memakan waktu bertahun-tahun sampai pada hukum yang inkracht (pasti), sedangkan penerimaan pajak harus sesegera mungkin. Inilah kontradiktifnya penerapan pasal 44B.Proses penghentian penyidikan sebenarnya telah diatur dalam Pasal 44A UUKUP yakni terbatas untuk empat hal, pertama, tidak terdapat cukup bukti; kedua, peristiwanya bukan merupakan tindak pidana perpajakan; ketiga, peristiwa telah kedaluwarsa; dan keempat, tersangka meninggal dunia.Penghentian penyidikan harus berpedoman pada ketentuan tersebut. Dengan Pasal 44B berarti menambah satu lagi syarat dapat dihentikannya proses penyidikan yaitu adanya permintaan Menkeu ke Jaksa Agung demi penerimaan negara.Pertanyaannya, apa kira-kira yang menjadi pertimbangan Menkeu meminta Jaksa Agung menghentikan penyidikan untuk kepentingan penerimaan negara ? Ukuran atau parameter urgensinya kepentingan penerimaan tentu sangat sulit bila dikaitkan dengan proses hukum yang sedang berjalan.UU sendiri tampaknya kesulitan memberikan penjelasan ukuran kepentingan penerimaan negara. Seharusnya UU KUP memberikan penjelasan apa alasan atau ukuran kepentingan penerimaan negara agar Menkeu tidak kesulitan ketika hendak menyurati Jaksa Agung. Perlu politik hukum yang jelas agar tidak menimbulkan pro kontra ketika hendak menerapkan pasal tersebut.Pilihan hukumPenanganan aspek penegakan hukum pajak (law enforcement) sangat diharapkan guna tegaknya UU pajak itu sendiri. Menyidik pengelak pajak menjadi satu tuntutan khusus agar persoalan kebenaran pembayaran pajak menjadi jelas sesuai UU. Bila tidak, dikhawatirkan persoalan penerimaan pajak akan semakin terganggu dengan permainan yang dilakukan oleh oknum dengan alasan yang dilakukannya bukanlah mengelak pembayaran pajak tetapi melakukan manajemen pajak atas dasar yang sah berdasarkan ketentuan yang berlaku.Pilihan memidanakan WP atau memprioritaskan penerimaan tentu menjadi politik kepentingan pemerintah. Adalah hak pemerintah menggunakan salah satu pilihan. Adalah hak pemerintah juga untuk menggunakan kedua pilihan tersebut karena memang dibolehkan UU. Memang, pilihan hukum penerapan pidana pajak selalu menjadi pertanyaan.Kecenderungan pilihan hukum sanksi administrasi Pasal 13 sepertinya menjadi hal lazim. Pemikiran demikian seakan menjadi inspirasi pembuat UU mencantumkan Pasal 44B guna menyukseskan penerimaan negara. Apakah pilihan hukum demikian sudah adil?Harus dipahami pula bahwa memang pengertian keadilan di sini tidak selamanya memberikan arti harus memidana atau memenjarakan WP. Melunasi utang pajak plus sanksi tentu sudah menjadi satu hukuman cukup berat dan cukup adil bagi kepentingan negara. Pemahaman rasa keadilan dapat dimengerti dalam konteks memahami kepentingan negara terkait dengan pembayaran pajak yang menjadi kewajiban setiap orang untuk membayar pajak.Menyadari pentingnya pajak bagi kemaslahatan hidup manusia, pilihan hukum dengan membuka peluang penyelesaian kasus di luar pengadilan menjadi menarik untuk dikaji.Seandainya pilihan itu yang dilakukan dan WP mau melunasi utang pajak ditambah sanksinya, kepentingan penerimaan negara yang menjadi prioritas pemerintah sesuai filosofi pajak.Namun, bila pilihannya menuntaskan via jalur pengadilan, adalah juga baik sebagai pembelajaran bersama sekalipun kepastian hukumnya akan memakan waktu yang cukup panjang. Kiranya kontradiktif penerapan Pasal 44B UU KUP bisa menjadi kajian dan pertimbangan bagi kita bersama.Oleh Richard BurtonKasi Pengawasan dan Konsultasi KPP Pratama Serpong

Denda Keterlambatan Lapor menurut UU KUP Baru

Undang-undang KUP baru yaitu Undang-undang No. 28/2007 yang disahkan 17 Juli 2007 dan mulai berlaku 1 Januari 2008 merupakan perubahan ketiga atas UU No. 6/1983.

Perubahan tersebut disambut positif oleh kalangan swasta karena lebih transparan dan terdapat keseimbangan antara hak-hak wajib pajak dan kewajibannya sehingga hal ini diharapkan mendorong terciptanya iklim usaha yang kondusif.Salah satu perubahan sangat besar pada pasal1 angka 11 Surat pemberitahuan (SPT) adalah surat yang oleh WP digunakan untuk melaporkan penghitungan dan atau pembayaran pajak, dan atau objek pajak dan/atau bukan ojek pajak, dan/atau harta, serta kewajiban sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) dari UU No.28/2007 tersebut apabila SPT tidak disampaikan dalam jangkawaktu sebagaimana diatur dalam pasal 3 akan dikenai sanksi yaitu :


sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan terhadap:

  1. Wajib Pajak orang pribadi yang telah meninggal dunia;
  2. Wajib Pajak orang pribadi yang sudah tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas;
  3. Wajib Pajak orang pribadi yang berstatus sebagai warga negara asing yang tidak tinggal lagi di Indonesia;
  4. Bentuk Usaha Tetap yang tidak melakukan kegiatan lagi di Indonesia;
  5. WP Badan yang tidak melakukan kegiatan usaha lagi, tetapi belum dibebaskan sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
  6. Wajib Pajak yang terkena bencana yang semuanya diatur dengan Peraturan Mentreri Keuangan.

Mengenai Saya

Bisnis kami membantuanda menyediakan KARYAWAN/BURUH PERUSAHAAN, SATPAM TERLATIH, dan memberi presentasi serta solusi terhadap masalah PERBURUHAN dan PENGELOLAAN ADMINISTRASI PERPAJAKAN di perusahaan anda.